Assalamu'alaikum Wr. Wb

Welcome To My Area

Curlem (curhat kalem)-nya Om Rihan, Khususnya Buat Para Pemburu Beasiswa

Sabtu, 08 Juni 2013

Tulisan ini saya kutip dari catatan Omm Rihan Handaulah yang sangat inspiratif, bisa menyalakan lagi sinar mimpi-mimpi yang sempat padam.. Klop juga dengan kita nasip para mahasiswa penerus bangsa..
Langsung simak aja gan, semoga menginspirasi..



“Life is a matter of uncertainty. The one who certain about himself will live his life.” (Galih P.)

Catatan ini ditulis di penghujung tahun 2012 sebagai bagian dari rasa syukur dan refleksi perjalanan hidup saya di tahun ini. Sekaligus berbagi pengalaman khususnya untuk teman-teman yang memiliki keinginan kuat untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri. Tulisan ini ditulis dari kedalaman 2 meter di bawah permukaan laut. Maklum Belanda adalah negeri yang sepertiga wilayahnya di mana kota-kota utama berada terletak sekian meter di bawah permukaan laut. Jadi kemana-mana harus bawa pelampung dan kaca mata renang. Berenang kita. Saya adalah mahasiswa master program “MSc Engineering and Policy Analysis” di Faculty of Technology Policy and Management, Delft University of Technology (TU Delft). Keberangkatan saya ke sini berkat dukungan beasiswa penuh dari Kemenkominfo. 


Berkelana dan menjelajahi peradaban-peradaban adalah cita-cita saya sejak SD. Berawal dari hobi nonton bola liga-liga Eropa plus hobi membaca Atlas juga buku RPUL, membuat saya hapal nama-nama kota di Eropa yang ada klub sepakbolanya. Makin kesini makin menguat keinginan saya untuk bersekolah keluar negeri, bukan hanya untuk berkelana, tapi belajar langsung di tempat di mana peradaban modern ini ditulis selembar demi selembar. Duduk di kursi dan menulis di atas meja yang sama dengan orang-orang besar yang telah menorehkan namanya di lembar sejarah manusia dengan tinta emas menjadi motivasi tersendiri. Puncaknya di masa SMA saat saya sedang mencari identitas, saya membaca sosok B.J. Habibie yang soleh dan pintar sebagai gambaran ideal diri saya kelak; menguasai teknologi, bersekolah di Eropa, lalu pulang dan membangun bangsanya secara nyata.

Seperti nyala kunang-kunang, cita-cita saya nyalanya kadang redup kadang benderang dan terbang kesana kemari. Benderang sekali waktu itu selepas SMA, menjadi lima besar peraih nilai UAN tertinggi di SMA pavorit di kota Banung dan diterima di jurusan elektrotehnik kampus gajah duduk, tiba-tiba semua topi dan peci gak ada yang muat (besar kepala - red). Saat kepercayaan diri di titik zenitnya, merasa bahwa saya adalah putra-putri bangsa terpilih yang siap membangun Indonesia dan mengantarkan kejayaannya di masa depan. Merasa kalem karena pede akan menjadi buronan calon mertua manapun. Jaya selalu porepeh (4ever) en epeh! Juga semangat itu selalu bertegangan tinggi saat mendengar dan membaca kisah-kisah mereka yang mendapat kesempatan belajar di luar negeri. Mereka saja bisa mengapa saya tidak.

Ibarat bohlam mau putus yang ditandai nyala sangat terang, begitu pun perlahan tapi pasti cita-cita itu juga bisa begitu. Meredup saat bertemu kenyataan IP yang mentok ke golongan nasakom (nasib satu koma). Makin redup saat saya merasa salah jurusan. Ya saya ambil jurusan teknik padahal kemudian seiring berlalunya proses pendewasaan dan bertambahnya kematangan, saya sadar bahwa minat saya lebih ke ilmu sosial. Serta yang paling redup adalah di akhir-akhir saat datang satu demi satu email dari calon pemberi beasiswa yang dimulai dengan kata-kata “Thank you for your application”.  Jika suatu hari kamu mendapat email semacam itu tak perlu dibaca sampai tuntas, isinya itu semacam surat dari mantan bakal calon pasangan hidup seperti “maaf saya sudah ada yang melamar” ,“kamu layak mendapatkan yang lebih baik dari saya”, atau “maaf saya belum siap nikah, mau melanjutkan sekolah dulu”.

Jika dimodelkan dalam grafik, garis hidup adalah fungsi matematika yang kompleks dan tak bisa dimodelkan dengan akurat dengan analisis secanggih apapun. Tapi yang pasti ada siklus sinusoidal yang menyusun fungsi itu. Dan seredup apapun mimpi itu, saya tak pernah membiarkannya padam. Karena saya meyakini bahwa keberadaan cita-cita akan membuka pintu ruang kemungkinan yang nisbi, sementara ketiadaan cita-cita berarti ketidakmungkinan yang mutlak. Dengan adanya keyakinan maka ruang ikhtiar akan terjadi, dan ikhtiar bisa jadi berbuah seperti yang kita inginkan atau bisa jadi tidak. Ada probabilitas di sini untuk sukses atau gagal. Sebaliknya, ketiadaan cita-cita akan memberikan hasil yang absolut; ketiadaan. Coba saya jelaskan dengan kalimat yang (tidak) indah berikut: “If you aim nothing you will do nothing, and the result must be nothing. So, you can only hope nothing for nothing”.

Oleh karena itu, saya hendak berbagi pengalaman meraih cita-cita. Walau memang saya belum ngapa-ngapain dan masih jauh pula perjalanan meraih cita-cita, setidaknya kesempatan kuliah di luar negeri barangkali sesuatu yang layak dibagi ke teman-teman yang juga punya keinginan yang sama. Ada tiga kunci jika kamu ada keinginan untuk melanjutkan studi di luar negeri.

Pertama, Keyakinan
Yakin ingin belajar di luar negeri? Yakin ini benar-benar muncul dari jiwa kamu bukan sekedar ikut-ikutan? Yakin kamu ke depannya mau jadi apa? Yakin bahwa pilihan ini sesuai dengan passion kamu? Yakin bahwa kuliah di luar negeri memang sesuatu yang kamu butuhkan? Yakin dengan niat kamu yang tulus? Yakin bahwa suatu saat kamu bisa berkontribusi dan membawa banyak manfaat untuk orang lain dengan ilmu yang akan kamu pelajari ini?

Tidak semua orang butuh sekolah di luar negeri. Sekolah di luar negeri pun bukan parameter kesuksesan. Ia hanya satu sarana dari sekian banyak sarana yang lain. Maaf, bukan kesuksesan materi yang saya maksud. Kesuksesan materi hanya salah satu akibat dari kesuksesan sejati; kebermanfaatan bagi banyak orang dan hidup yang penuh makna dengan menjadi dirinya yang terbaik. Dan kunci kesuksesan kalau kata Rancho, tokoh utama film 3 idiots (film yang harus ditonton khususnya oleh para pemburu beasiswa), “aim for excellence and success will follow”.

Ramuan kata-kata opa Stpehen Covey di bukunya The 8th Habit dicampur om Malcolm Gladwell di The Outlier kira-kira seperti ini; excellence akan bisa kita capai jika kita memberikan “10,000 jam” di sesuatu yang menjadi panggilan jiwa kamu. Panggilan jiwa atau orang menyebutnya passion adalah irisan antara minat (sesuatu yang secara alamiah kamu tertarik), bakat (sesuatu yang secara alamiah kamu muda menguasai), kebutuhan (sesuatu yang dibutuhkan banyak orang), serta bisikan nurani. Nah, sekolah di luar negeri sejatinya hanya salah satu bagian dari “10,000 jam” kata om Gladwell ini. Dan belum tentu sarana pembelajaran ini dibutuhkan.

Ada sahabat baik saya yang visi hidupnya adalah jadi entrepreneur sakses. Buat dia ambli S2 di luar negeri bukanlah sesuatu yang relevan. Maka yang ia lakukan adalah mblusukan ngasong jualan dan merintis usaha mulai dari jualan kue, rental infokus, cetak buku, sampai kini punya perusahaan software sendiri. Kini saat berada di titik kebebasan finansialnya urusan jalan-jalan ke luar negeri menjadi ibarat ke luar nagreg (nama tanjakan terkenal di Jawa Barat – red). Kapan pun dan kemana pun dia mau. Begitu pula sahabat-sahabat saya yang lain di Wanadri yang passion-nya adalah menjadi penempuh rimba dan pendaki gunung yang tangguh. Empat orang sahabat saya ini baru saja berhasil mencapai “Seven Summit” atau tujuh puncak tertinggi di dunia sampai jauh-jauh ke Antartika.  Orang lain pasti ada aja yang mikir, ngapain coba? Tapi ya itulah kekuatan passion, panggilan jiwa. Tidak mesti kuliah di luar negeri juga. Urusan jalan-jalan ke luar negeri itu urusan belakangan bro, yang penting pertanyaan pokoknya “kamu mau jadi apa” sudah harus beres dulu. Kata orang, if why is so big, how will be so small.


Kedua, Keyakinan
Yakinkah kamu bahwa ikhtiar yang kamu lakukan sudah maksimal? Yakin bahwa usaha kamu sudah sampe mentok sementok-mentoknya? Yakin semua peluang udah dicoba? Jika kamu kandas apakah yakin jika sudah kandas sekandas-kandasnya? Yakin bahwa semua latihan TOEFL atau GRE udah dilalap? Yakin CV dan motivation letter kamu sudah perfecto? Yakin semua informasi yang dibutuhkan sudah kamu ketahui? Yakin semua prosesnya sudah dijalani?

If you really want something, you must give everything necessary.  Sebagai penggemar sepakbola saya adalah Tifosi Jupe dan tentu saja bobotoh Persib, tapi saya juga penikmat Barcelona. Dari Barca saya belajar satu aturan penting dalam hidup, jika kamu ingin membuat gol yang banyak maka rumusnya ialah kuasai bola selama mungkin (ball possession) serta yang paling penting ciptakan peluang sebanyak mungkin (shoot on goal). Urusan pada akhirnya kamu kalah maka silakan salahkan Mourinho dan Di Matteo yang memarkir alam semesta di depan gawang.

Jika melihat hitung-hitungan peluang dan statistik, jujur saja peluang saya untuk bisa mendapatkan beasiswa sebetulnya pas-pasan. IP saya tipis beberapa senti di atas batas minimal, cuma tiga koma nyaris. Begitupun nasip TOEFL saya yang bisa dibilang ala kadarnya. Ditambah yang menurut saya paling membuat galau adalah bidang yang di-apply tidak linear dengan jurusan sebelumnya. Ini bagian yang selalu mencari keributan karena pertanyaan “why do you want to cross the discipline?” selalu muncul. Dan dengan sabar (serta tawakal) saya mencoba menjelaskannya sebaik mungkin.

Menyadari competitive advantage saya lemah saya pun berburu beasiswa dengan jurus pukat harimau, bukan dengan jurus mancing mania. Maksudnya adalah saya mencoba semua peluang yang memungkinkan dengan kata-kata mutiara “hajar bleh, sikat kabeh”. Tidak terlalu pilih-pilih. Rumusnya gini, misalkan peluang kita yang diukur dari competitiveness kita ialah 0,1. Maka kamu butuh menciptakan sepuluh peluang untuk menghasilkan satu gol. Nah masalahnya kita tidak bisa tahu dengan pasti di pintu mana cinta kita akan bersambut, yang pasti ketuklah semua pintu yang ada, barangkali ada satu cintamu menyapa dibalik pintu itu. Dan karena kita juga tidak tahu berapa peluang kita secara pasti maka lakukan saja semua yang bisa dilakukan. Kecuali anda adalah mahasiswa di kasta tertinggi dengan IP syuperr, penghargaan dari mana-mana, juara ini itu, CV yang bohai aduhai, apalagi ditambah jaringan relasi yang canggih, maka saya ucapkan selamat dulu sedari awal. Silakan pilih yang anda suka karena nampaknya kampus dan calon pemberi beasiswa antri melamar anda. Kalau begitu anda emang udah bener, saya mesti berguru pada anda. Sebagai informasi, rasio keberhasilan saya adalah 0,125. Artinya, dari 8 aplikasi yang saya kirimkan, hanya satu ini yang sakses.

Ketiga, Keyakinan
Yakinkah kamu bahwa apa yang baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah, serta yang buruk menurut kita ternyata baik di mata Allah? Yakinkah kamu bahwa Tuhan itu Mahatahu, tapi kadang Ia menunggu? Yakinkah kamu bahwa malam yang paling pekat ialah malam menjelang fajar? Yakinkah kamu bahwa Ia sesuai persangkaan hamba-Nya? Yakinkah kamu bahwa tawakal adalah obat paling mujarabnya orang-orang beriman atas semua kesedihan dan kekhawatiran? Yakinkah kamu ujian itu adalah pertanda kasih sayangNya?

Seperti kisah pemecah batu, ia tidak pernah tahu di pukulan ke berapa batunya akan pecah, tapi jika ia berhenti memukul bisa jadi ia hanya membutuhkan satu pukulan lagi setelah itu. Tapi hey, ga lucu juga jika kamu terus memukul batu itu seumur hidupmu. Mana tahu memang kamu ga cocok jadi pemecah batu dan lebih pas menjadi mandor tukang batu itu atau bahkan jadi pengusaha property yang punya proyeknya. Keep open mind and stay cool bro. Ingat selalu tujuan akhir tapi please, fleksibel dalam cara. Seperti saat kamu mempropose seseorang, saya sarankan kejarlah sosoknya bukan namanya, karakternya bukan orangya. Fokus pada sosok bukan nama. Karena cinta mati pada satu nama dan lalu kandas itu sakit mblo, nyerrii, sulit untuk bisa move on-nya mblooo.

Nah begitu pun cita-cita kamu. Di keyakinan pertama kan kamu sudah merumuskan apa gambaran utuh perjalanan hidupmu, di mana tujuan akhirnya. Dengan modal ini kamu bisa melihat, bahwa obsesimu untuk kuliah di luar negeri hanya sepersekian dari cita-cita besarmu. Jangan karena gak ada nasi kamu gak jadi makan. Masih ada bubur, mie, kwetiau, roti, dan sebagainya. Tak ada rotan raam pun jabi.

Dari keyakinan kedua kamu sudah belajar untuk menyempurnakan ikhtiar. Jangan sedih dan jangan khawatir jika masih belum kelihatan hasilnya. Tidak ada yang sia-sia dari semua ikhtiar yang sudah kamu lakukan walau itu masih belum memberi hasil. Allah akan menghitung amal yang kita lakukan, bukan dari berhasil atau gagalnya. Kegagalan itu hal yang biasa. Kata orang, yang hebat bukanlah orang yang tidak pernah gagal, tapi orang yang selalu bangkit lagi setelah ia gagal. Ingat kata Nietschze “what doesn’t kill you make you stronger”.

Kata kawan saya, lukis dan tuliskan dengan pensil mimpi-mimpimu seindah mungkin lalu biarkan Ia Yang Maha tahu lagi Maha penyayang menghapus mana yang tidak baik bagimu. Ini yang paling penting; berbaik sangka pada Allah. Dengan modal husnudzhan ini saya memutuskan untuk resign dari pekerjaan sebagai Field Engineer di salah satu oil service company. Waktu itu saya yakin sekali bahwa insya Allah tahun ini saya berangkat S2 ke luar negeri. Bermodal tabungan secukupnya serta yang paling penting ialah dukungan istri tercinta serta keluarga, saya memutuskan untuk menjadi full-time scholarship hunter selama beberapa bulan. Mengingat jika saya masih bekerja di lapangan sebagai field engineer mustahil untuk bisa menjalankan proses seleksi beasiswa. Selain itu yang terpenting saya ingin melewati dulu quality time di Bandung dengan istri saya yang akan ditinggal setahun ke depan. Padahal saat keputusan resign itu diambil saya belum ada kejelasan apa-apa. Kejelasan saya hanya baik sangka dan keyakinan setotal mungkin pada Allah. Last but not least, mintalah restu pada istri/suamimu dan orang tuamu. Doa mereka insya Allah diberkahi jika mereka ridha dengan rencanamu.

Alhamdulillahirabbil’alamiin.

Sumber : Catatan Om Rihan Handaulah

0 komentar:

Posting Komentar